a book review : negeri 5 menara

June 29, 2012

sejuta tahun setelah bukunya terbit dan akhirnya filmnya tayang dan teman-teman saya ngefans sama pemeran Alif Fikri (dan temen lain yang katanya mirip si pemeran itu) akhirnya saya baca bukunya juga. Negeri 5 Menara has been everywhere around me ever since the book published, cuma, entah kenapa, saya nggak punya keinginan untuk membacanya. Mungkin karena nggak tertarik sama latar belakang ceritanya yang pondok pesantren, atau pola ceritanya yang flashback setelah si tokoh utama sukses. Saya nggak tertarik untuk meminjam apalagi membeli meskipun buku keduanya sudah terbit dan teman-teman saya bilang bukunya bagus.

Sampai akhirnya, di tengah-tengah liburan panjang terakhir saya sebelum skripsi (insya Allah), bunda bawa bukunya pulang ke rumah. Karena nggak ada kerjaan dan buku yang saya beli sudah habis dibaca, akhirnya buku itu saya baca juga. Dan saya langsung merasa sedikit menyesal karena tidak membaca buku itu dari awal bukunya terbit.

Kata-kata di dalam buku menggugah saya. Yes, I'm an avid reader but I don't get inspired by the words on the book so often. Mungkin karena buku yang saya baca kebanyakan buku-buku cheesy dan fantasy, yang ada saya malah emotionally involved sama tokoh fiksinya.

Ini bagian yang paling saya suka dari bukunya :

"...katanya, kalau ingin sukses dan berprestasi dalam bidang apa pun, maka lakukanlah dengan prinsip 'saajtahidu fauqa mustawa al akhar'. Bahwa aku akan berjuang dengan usaha di atas rata-rata yang dilakukan orang lain. Fahimta. Ngerti, kan?"
"Iya, tapi itu kan biasa saja, semua kita tahu,"
"Aku sangat terkesan dengan prinsip ini. Coba renungkan lebih dalam untuk merasakan kekuatan prinsip sederhana ini. Ingatlah, sang juara dan orang sukses itu kan jauh lebih sedikit daripada yang tidak sukses. Apa sih yang membedakan sukses dan tidak? Belum tentu faktor pembeda itu otak yang lebih cemerlang, hapalan yang lebih kuat, badan yang lebih besar, dan orang tua yang lebih kaya. Tapi yang membedakan adalah usaha kita. selama kita banyak usaha dan bekerja keras di atas orang kebanyakan, maka otomatis kita akan menjadi juara. Lihatlah, berapa perbedaan antara juara satu lari 100 meter dunia? cuma 0,00 sekian detik dibanding saingannya. Berapa beda jarak juara renang dengan saingannya? Mungkin hanya satu ruas jari! Untuk juara hanya butuh sedikit lebih baik dengan orang kebanyakan!"
Percakapan antara Said dan Alif ini bikin saya berpikir, oh iya, ya. klise. tapi benar. benar sekali. Dari sini saya merasakan bagaimana orang-orang yang sukses di sekitar saya memang melakukan yang seperti itu, pulling all nighters, yang saya bener-bener nggak suka karena bikin pusing dan seringnya cuma merubah jam tidur. Mungkin saya kurang bertahan sedikit. Saya nggak pernah tau berapa jarak menuju berhasil karena saya selalu menghentikan diri saya sendiri sebelum bekerja di atas rata-rata kemampuan diri saya sendiri.

Masih banyak sebenarnya bagian yang saya sukai dari buku ini. Bahkan membaca kehidupan anak-anak di pesantren membuat saya ingin mengulangi masa SMA yang juga jauh dari orang tua dan dikelilingi dengan semangat yang hampir sama. Saya jadi tahu, bagian mana yang tidak saya optimalkan, dan bagian lain yang saya tidak mengerti maksudnya jaman SMA dulu. Pesan dari buku ini klise, tapi benar. Hal-hal yang tadinya saya abaikan karena saya anggap terlalu klise, tapi kemudian, setelah saya meluangkan waktu untuk membacanya, jadi terasa tidak sepele.

At the very end, walaupun pastinya sangat terlambat untuk menulis ini, this book is a highly recommended. Sebelum kuliah, sebelum lulus, masih sekolah, sudah lulus, sudah kerja, siapapun yang membacanya, menurut saya, buku ini bisa menyentuh dengan pesan-pesan sederhananya. Mungkin efeknya berbeda. Positif tapi berbeda.

Saya jadi ingin cepat-cepat membaca Ranah 3 Warna :)


 


You Might Also Like

1 comments

Blog Archive