Just several days ago, I was in full panic mode.
Saya sedang terlibat dalam sebuah proyek yang sudah masuk tahap konstruksi. Bisa dibilang gambar sama konstruksinya lagi kejar-kejaran di lapangan. Dan bisa-bisanya gambar saya baru ketauan kalo ada yang elevasinya di bawah slab eksisting. Jadilah saya janjiin untuk kirim gambar revisi dua hari setelah meeting.
Masalah selesai? Ternyata nggak. Kira-kira seminggu setelah saya kirim gambar, orang dari lapangan nanya kenapa gambar yang dia terima nggak ada revisiannya.
Huft, makin paniklah saya. Untungnya masih kepikiran untuk cek dokumen yang dikirim dan memastikan kalau saya benar-benar nggak salah kirim gambar. Saya telpon kesana kemari untuk menjelaskan gambar dan permasalahannya lalu menjanjikan untuk kirim ulang gambarnya siang itu juga.
Kenapa saya panik untuk what now seems like a very simple problem adalah karena saya harus menghadapi orang-orang ini secara langsung (waktu meeting pertama) dan menjelaskan via whatsapp (untuk masalah kedua). Orang-orang yang saya hadapi ini usianya semua jauh di atas saya dan jelas-jelas lebih banyak pengalaman di bidang mereka. Apalah saya ini yang baru lulus berapa taun dan pengalaman lapangannya cuma survey site pake helm proyek sambil foto-foto.
Yang baru saya sadari adalah, saya ternyata punya mental bersalah. Dalam permasalahan yang saya hadapi, harus selalu ada yang salah dan ada yang benar. Lebih tepatnya, siapa yang salah dan siapa yang benar. Diomongin pake suara keras sedikit saya ngerasa salah, begitu saya pikir-pikir lagi kronologi masalahnya, saya ngerasa nggak salah dan cari-cari siapa yang awalnya salah sampai permasalahannya bisa muncul.
Setelah ngobrol sama teman saya, saya jadi mikir, mungkin kalau ada sesuatu yang salah sehingga muncul permasalahan, yang paling penting bukan siapa yang salah. Okelah tracing the suspect bisa jadi bikin kita menemukan solusi yang tepat, tapi itu bukan intinya. Karena cari-cari siapa yang salah, ataupun merasa salah duluan malah memperumit keadaan (yang biasanya emang udah panas kalau situasinya kayak saya gini). Mendingan fokus sama apa yang bisa dilakuin oleh siapa supaya masalahnya selesai.
To be honest, saya suspecting orang lain marah-marah dan nganggep saya bodoh karena salah-salah sepele kayak gitu sampe stres banget sepanjang hari sebelum on-site meeting. Kenyataannya, pas ketemu di site, nggak butuh waktu lebih dari setengah jam untuk saya menjelaskan apa yang hari sebelumnya saya bicarakan via telpon dan ternyata mereka seneng-seneng aja karena masalahnya sudah clear sejak saya kirim ulang gambarnya.
Orang lain yang saya tuduh bersalah (sejak saya merasa nggak salah) juga sebetulnya sudah siap dengan bahannya sendiri dan orang lapangan pun langsung semangat karena semuanya sudah bisa dikerjain.
Yang bikin saya merasa bersalah karena punya mental bersalah ini adalah karena orang yang tadinya saya kira marah sama saya justru mengerti bahwa saya adalah orang yang baru dilimpahi tanggung jawab untuk pegang proyek ini, jadi menurut dia, wajar kalau ada miss, karena toh saya masuk ke proyek ini setelah semua tim nya establish dan berjalan.
Funny how people's speech can make you suspect things and then a longer time you spend with them can make you change your mind?
Itu side-lesson dari apa yang saya alami, sih. Tapi si mental bersalah ini tetap sesuatu yang haruuuus saya hindari. Dalam situasi kerjaan yang sangat intens dan deadline melulu, both blaming people and blaming oneself is something that is very easy to do, even unconsciously. Coba kalau saya menghadapinya dengan tenang dan nggak overthinking, kerjaan saya mungkin bisa diselesaikan dengan lebih damai, nggak pake panik karena merasa bersalah lalu mulai cari-cari orang untuk disalahin setelah yakin bahwa saya nggak salah.
Karena mungkin memang nggak ada yang salah. Cuma miskoordinasi sederhana yang bisa diselesaikan via telepon dan email tanpa perlu marah-marah.
Atau mungkin, kalau saya sudah unconsciously cari-cari kesalahan orang dan constantly blaming myself begini, saya sudah lupa sama apa yang sebetulnya saya cari waktu pertama kali saya mulai?
And that... is one question I can't answer right now.