source |
note : after thinking for a while, I decided to continue with this. Here's my series about traveling Balijalan-jalan itu nagih.
Setelah Singapura, saya dan Dhila ngobrol macem-macem soal destinasi kami selanjutnya. Saya sih pengennya trip beberapa negara asia tenggara, atau kalo nggak bisa banget, minimal Vietnam (I have this weird and indescribable urge to go to Vietnam). Sampai menelusuri pulau Jawa sampai ke Baluran lewat jalur darat seperti yang dilakukan dua orang teman kami.
Sayangnya, sementara saya sudah resign dan siap jalan kapan aja, Dhila justru mulai ngantor dan kayanya sulit buat ambil cuti seminggu penuh (atau mungkin lebih). Jadinya rencana kami macem proyek digantungin klien, on hold.
Lalu tiba-tiba, temen saya yang lain nge-line, ngajak ke Bali. Katanya, ada temennya dari Hongkong yang mau dateng ke Bali, dan dia lagi cari temen untuk nemenin dia nemenin temennya di Bali (ha!).
Akibat impulsif (dengan diiming-imingi, 'murah deh Fit! Perginya November, kita nabung dulu ajaa.. gue juga nggak punya duit,') akhirnya saya mengiyakan. Karena, tidak seperti anak SMA pada umumnya, SMA saya nggak study tour ke Bali waktu kelas 2, saya belum pernah ke Bali. Kalo denger kata pantai pun malah mager, yang kepikiran di kepala adalah 'panas terik, gerah, keringetan, banyak orang, penuh, malesin, mendingan gue di rumah aja'. Bali sama sekali bukan destinasi yang ada di kepala saya saat sedang merencanakan perjalanan.
I decided to go to Bali with no expectation because Bali has never been on my travel plan. Mari cari ada apa di Bali dengan harga semurah mungkin! (Challenge accepted, macem Barney Stinson)
Sampai sekarang pun, kalo ditanya, "mau kemana pas di Bali?" saya sih nggak tau. Kemana-mana hatiku senang aja lah pokoknya.
Semoga sampai di Bali, I can see beyond pura and beaches.
See you in Bali!
The last year might have been a year of learning.
Not in a context of going to school and learn, but squeezing out the lesson from everyday life. From my AutoCad skill to going home early in the morning only to go back to the office just half an hour after I arrived.
22 was eventful. I was being a fresh graduate, getting accepted in my first job, getting paid, going abroad for the first time, getting the chance to be in a project meeting, traveling by plane (yes, for the very first time), even deciding to move on from a routine, and so on and so on.
I can't count, (and doesn't have any desire to count anyway) the blessing. But if I have to choose one of most important lesson I've learnt throughout the last year, that would be to try to see good in people, because it's worth it.
There will be a lot of people to meet in the future, there will be various personalities, tempers, background, and even nationalities. And even though it's easier to judge, try to see good in people has a better effect for the future.
It's time to be brave. To take the chances like there's nothing to lose. Because there won't be anyway. Don't stress the could haves, they said. If it should have, it would have.
...
and hello, 23
Pertama-tama, pernah nggak naik angkot yang jendelanya kebuka. Terus, di tempat duduk yang jendelanya kebuka itu, duduklah penumpang yang rambutnya panjang dan digerai. Terus rambutnya terbang-terbang kena angin macem adegan dramatis di film-film atau video klip.
Terus rambutnya kena muka kamu.
I've been there.
Di commuter line nggak ada sih kejadian kayak gitu. Angin AC nya kurang kenceng buat nerbangin rambut. But here's another similar experience.
Sekarang kan lagi jaman yaaa.. kerudung yang ngebentuk cepolan rambut (yang ciputnya dinamain ciput Jarjit (or is it only a local name near my house?) karena mirip sama kepalanya Jarjit yang di Upin Ipin). Saya sih nggak komen lah soal boleh-nggaknya, it's another topic. But one of the bad side of this kind of hijab is that it pokes people's face.
Terutama kalo keretanya lagi penuh dan nggak ada pilihan tempat lain (geser pun tak mampu). Terus orang dengan kerudung bercepol ini geleng-geleng kepala (ya kan misalnya). As a girl in average height, I got this, not a lot, but sometimes when I do, it was mixed feeling. Antara kesel karena saya jadi full-notice sama keberadaan si cepol kerudung itu, kesel karena kena melulu, dan pengen ketawa karena kok bisa sesuatu yang sama sekali nggak ada hubungannya sama jadwal kereta dan gangguan kereta bikin kesel.
Temen saya pernah juga kena. Tapi kena cepolan rambut beneran. Kebetulan dia anaknya tinggi, jadi si cepolan rambut orang di depannya kena persis ke hidung. Disgusting and amusing at the same time. Katanya, orang yang disebelahnya, yang nyadar kalo dia kena rambut orang di depannya sampe ketawa dan nyuruh pindah.
But what to do, the joy of taking commuter line in Jakarta is in the crowding and all the little things that happens inside. Yahh... untuk perjalanan padat penumpang selama 30-45 menit mah, hang in there buddy. Gak usah kesel, ketawain aja :)
See you on the next HASHTAG NAIKCOMLINE!
nggak selengang ini sih. Tapi lumayan lah (sumber : x) |
Sebagian besar (walaupun saya nggak dapat sumber pasti persentasenya) naik kereta di peak hour karena memang jalurnya praktis menghubungkan Bogor sampai Jakarta. Bisa disimpulkan Depok-Tebet adalah jalur yang pasti rame di peak hour. Saya, adalah satu dari sekian ribu orang yang desek-desekan di kereta itu selama setahun terakhir.
Nah, bagaimana cara naik kereta yang nggak penuh-penuh amat?
Pertama, naiklah kereta paling pagi. Kereta paling pagi di Depok ada pukul 4.30 WIB*. Saya pernah sekali naik kereta yang kedua terpagi (kalo nggak salah). Masih kosong banget keretanya. Jadi ini saya jadikan solusi pertama buat yang nggak mau penuh-penuhan dan rela kepagian sampe tempat tujuan (kecuali emang butuh).
Kedua, naiklah kereta balik yang berangkat dari Stasiun Depok, bukan stasiun Bogor. Stasiun Depok, jaraknya cuma dua stasiun dari Stasiun Pondok Cina, salah satu stasiun yang penuh dengan orang kantoran kalo pagi (lebih penuh dari UI meskipun sebelahan). Jadwalnya bisa di lihat di sini. Biasanya ada pengumumannya di stasiun : 'satu dari utara, akan masuk kereta tujuan Depok yang akan kembali menjadi kereta tujuan Jakarta Kota' nah, nyebranglah ke peron tujuan Depok, biasanya kereta ini nggak penuh-penuh amat.
Ketiga, tunggu. Jangan tergesa-gesa apalagi maksa naik kereta yang udah penuh (kecuali kepepet). Naik kereta penuh itu butuh skill (ini serius). Mungkin ini bawaan saya yang emang dasarnya males desek-desekan, kadang-kadang saya ngelewatin 2-3 kereta dan bisa naik kereta yang lebih nyaman. Tentu saja karena jam masuk kantor saya cukup fleksibel, jadi sampe setengah 10 pun gak masalah.
Keempat, kalau pulang malam, terutama dari Cawang atau Tebet, hapalkan jadwal kereta tujuan Manggarai. Asiknya pulang dari Tebet adalah jaraknya cuma 1 stasiun dari stasiun Manggarai, jadi kalo naik kereta balik pun muternya nggak terlalu lama. Sama kayak kereta balik dari Depok, kalo ada pengumuman, segeralah ke peron seberang. Saya nggak jamin kosong, tapi jamin mendingan.
Kelima, kalau udah naik kereta yang lumayan lengang itu, naik aja di Gerbong umum, kesempatan untuk dapat duduk bagi perempuan di gerbong umum jauh lebih besar daripada duduk di gerbong khusus wanita.
Percayalah bahwa naik commuter line itu butuh latihan dan pengalaman. Ala bisa karena biasa. Kalo ada yang nggak enak, lama-lama juga biasa :)
See you on the next HASHTAG NAIKCOMLINE!
*jadwal kereta selengkapnya bisa dilihat di sini
Tom : This is my favorite spotor maybe, "... so special and rare and yours that advertising your affection feels like betrayal."
Summer : This is? This is your favorite spot?
Tom : Right here
Summer : How come?
Tom : I don't know. It's kinda hard to explain, I guess.
Disclaimer : The HASHTAG NAIKCOMLINE series does not decide what to do or not to do on the Commuter Line. I only share my experience and explain it from my perspective. Thank you :).
Berdiri itu pegel is a common knowledge. Duduk juga pegel sih, coba aja tanya sama orang yang biasa mudik 40 jam ke Jawa Tengah (misalnya macet) atau Jawa Timur.
Tapi berdiri kayaknya lebih pegel sih. Apalagi kalo berdiri di kereta sambil ngeliatin orang-orang yang duduk pada tidur. No offense, tapi yaaa pengen juga sih kadang-kadang bisa duduk dan bobo di kereta. Saya sih mikirnya, sebagai anak (?) umur 20-an yang naik gerbong wanita, kepengen duduk di peak hour nya comline aja udah nggak usah lah. Masih banyak orang butuh; we'll never know what people has endure in their working hour, kan?
Dulu, waktu belum naik comline, saya sering denger cerita orang-orang yang bawa kursi lipat biar bisa duduk di kereta. At that time, the idea seems to be sooo brilliant. Bayangkan, pinter banget gak sih kita bisa duduk di kereta penuh. Yuhuu, I'm so buying a folding chair! Kayanya waktu itu sempet mikir gitu juga.
Kenyataannya, duduk di kereta selain di kursi yang disediakan (baik ngemper depan pintu yang nggak kebuka, di pojok-pojok, dan di kursi lipat di pojook-pojok deket pintu yang nggak kebuka) itu sebetulnya nggak boleh di kereta.
Ah masa sih? Seriusaaan...
Tuh. Sama kok kayak di bus/MRT Singapur, nggak boleh makan minum juga sebenernya. (Padahal suka bandel bawa otak otak) (source) |
Satu lagi kerugian yang dialami orang yang berdiri kalau ada orang duduk adalah berdiri makin susah. Jadi kan orang-orang yang duduk itu pada duduk di pojok kereta yang deket lokomotif. Sementara tempat itu juga deket sama bagian pintu yang pegangannya letaknya cukup tinggi dan nggak terlalu banyak. Bagian kereta yang buntu karena deket pintu lokomotif adalah tempat yang bisa diandalkan untuk nyender supaya orang-orang yang berdiri ini punya pegangan.
Dengan adanya orang duduk, posisi si orang berdiri jadi kegeser 60 cm dari senderan itu (ya kan duduknya sambil nyender, jadi diitungnya yang 60 cm). Akhirnya orang yang berdiri ini harus mengulurkan tangan biar bisa tetep pegangan ke dinding itu. Percaya deh, itu lebih susah dan lebih gampang kerasa sakit dan pegel, apalagi kalo kondisi keretanya lagi penuh dan kedorong-dorong orang jadi sesuatu yang sangat lumrah.
Berdiri itu pegel is a common knowledge. Why don't we make it easier for other people who ignore their desire to sit on the floor by quit sitting in the train, unless it's on the seat. A win-win solution, right?
See you on the next HASHTAG NAIKCOMLINE! :)
sumber :
*http://www.pu.go.id/uploads/services/infopublik20120329160823.pdf. diakses 16/08/2014
Kalo lagi nggak dijemput, saya naik kereta full trip sampe stasiun deket rumah. 9 atau 10 stasiun. Cukup lama, yaaa kalo keretanya lagi nggak ngebut 30 menitan mah ada lah. Dan berdasarkan pengalaman, kereta dari abis maghrib sampe jam 8-an masih mayan penuh tuh sama orang-orang kantoran. Saya biasanya naik kereta di gerbong wanita, untuk alasan kenyamanan. Yah, walopun desek-desekan minimal cewek semua.
Nah, kalo kereta lagi penuh gitu, biasanya nggak semua orang bisa dapet pegangan. Ya gimana mau pegangan kalo yang berdiri di bagian tengah sampe 4 lapis. Pasti akan ada orang-orang yang bisa berdiri di kereta dengan modal kegencet. Nggak selalu kejadian sih, tapi saya beberapa kali ngalamin pas kereta lagi penuh-penuhnya, gerak pun gak bisa. Diem aja gitu dengan posisi yang sama sampe pegel sampe stasiun tujuan.
Tapi, ada beberapa hal yang bikin penumpang bisa gerak walaupun kereta penuh. Yang pertama adalah tekad kuat untuk turun (yang bikin si penumpang harus menerobos, menyempil, dan mendorong untuk bisa mendekat ke pintu otomatis) dan yang kedua adalah percepatan (yang nilainya positif DAN negatif) kereta setelah berhenti di satu stasiun.
Kalo ada yang inget, jaman sekolah dulu pasti dijelasin pas pelajaran fisika kalo arah percepatan berlawanan dengan arah gaya yang dirasakan. Kebayang lah ya, kayak mobil ngebut di film-film gitu, kalo kenceng si supirnya akan nempel di jok mobil. Penjelasannya seperti ini :
Gambar diambil dari Kartun Fisika (The Cartoon Guide to Physics) oleh Larry Gonick dan Art Huffman (p. 9 - 10). Click on the picture to enlarge. |
Katanya nagging itu sayang. Kata siapaaaa? Katanya...
The older the person gets, I think the more difficult it is to understand his/her mind in couples of try. Especially when we were too attached and start to, unconscioulsy, taking them for granted.
Meet my grandfather, a person I called ompung my whole life, who consistently resisting to go to Jakarta everytime his children asked him to visit. The one who can't stay for more than an hour in a family visit (we count it last lebaran. It's rude, I know...), and who asked when we leave as soon as we are arrived.
We can't get too detail with him; at the specific time, he will start to ask why we haven't leave or arrived. It gets annoyying, I should agree. He will making phonecalls when we are not arrived on time. Or when we won't leave, he will asked why, even if it's a trivial reason like waiting to get into the bathroom, or finishing lunch.
Yesterday, my aunt's family left to went to other city at noon. My grandfather asked my father to call her to asked whether she has arrived at around 7 pm, and she said thay she was still on her way. It was supposed to be a 2 hour drive from my grandparent's house, but she arrived at 9 pm; 7 hours after she departed.
At dinner, he seems to be a bit sad. While taking his food, he asked to my parents whether my aunt has taken some food with her to be eaten on the way. He also said that he was about to sent my aunt right after we finished breakfast because for him, it will be much easier to handle the road when it's still daytime, rather than nighttime when it's already dark.
He was worried, in such a roundabout way.
I will keep this one for the day when my parents start to nag me around. It was a sign of worry and love, in such a roundabout way.
Noted!
Saat saya sedang beres-beres baju dan tas, Dhila tiba-tiba muncul bawa peta dan naik ke tempat tidur atas yang saya pakai. Kami memutuskan untuk re-planning hari terakhir kami di Singapura.
Saya sendiri merasa hari kedua ini agak-agak kebuang percuma dengan pergi ke Sentosa. Padahal kalau kita balik ke Maxwell, kita bisa lihat dua temple sekaligus, dan mungkin sempat mampir Marina City Gallery dan Garden by the Bay sekaligus tanpa perlu kesorean main di Merlion Park. Tapi karena sudah kejadian dan kami masih tetep jalan-jalan juga, jadi mendingan merencanakan yang masih sisa aja : hari ketiga.
Kami punya agenda yang nggak bisa diganggu gugat di hari ketiga : Naik Singapore Flyer, nonton XD Theatre, dan naik River Cruise dari daerah Clarke Quay. Terus Dhila bilang mau mampir ke HMV di The Heeren. Kami juga masih punya Garden by the Bay yang belum dikunjungi.
Akhirnya kami memutuskan bahwa jadwal untuk hari terakhir akan dimulai dengan pergi belanja oleh-oleh dan diakhiri dengan naik River Cruise di Clarke Quay. Kalau semuanya berjalan lancar, kami bisa berangkat ke bandara jam 9 malam, sebelum transportasi umum berhenti beroperasi.
Untuk pergi ke Sentosa, kita bisa naik Sentosa Express dari lantai 3 Vivocity. Sayangnya di sini nggak bisa pakai Singapore Tourist Pass. Biayanya SGD4 sudah termasuk biaya masuk ke Sentosa. Bisa juga naik kereta gantung; ini pilihan paling mahal dan menurut saya overpriced. Tarifnya SGD26.
Welcome to Singapore!
Saya mendarat di Singapura sekitar jam 9 pagi hasil dari flight jam 05.30 WIB. Meskipun kurang tidur sejak hari Senin, saya dan Dhila turun dari pesawat dengan bahagia : 'Hey! This is our very first journey abroad!'.
Tujuan pertama kami adalah beli Singapore Tourist Pass. Sebetulnya, STP ini bisa dibeli di Changi dan di beberapa stasiun MRT, tapi pas kami ke information center, mbak-mbaknya bilang kebetulan banget tempat jual STP di Changi tutup hari itu. Dia bilang kalo mau beli, kami bisa ke MRT Orchard atau City Hall. Karena kebetulan kami mau redeem voucher Singapore Flyer di Lucky Plaza, jadi kami langsung naik bus dari bandara ke Orchard road.
bagus ya, kartunya... diambil buat suvernir boleh, tapi kalo dibalikin dapet SGD10 |
Liburan saya ke Singapura akhirnya selesai hari Sabtu kemarin. Oleh-olehnya lumayan; baju kotor sama kaki-tangan-bahu pegel akibat jalan kaki dan bawa beban berat. Nggak itu aja, sih, sama foto-foto cantik singapura juga kok.
And here we goes with #4 : Things to Bring.
Sebelumnya, series ini sebetulnya cuma mau menceritakan pengalaman saya (garis bawahi : si anak rumahan yang mager kemana-mana) jalan-jalan 3 hari di Singapura plus persiapan yang saya lakukan. Saya juga akan menulis soal hal-hal yang membantu banget selama saya di sana. But the best guide is your own guide. Yang saya tulis ini, works for me, maybe not for the others. But if this give you any help, than it'll be good :).
Di #2, saya sudah cerita kalau saya sama Dhila sempat diskusi harus beli apa saja sebelum kami berangkat. Bukan maksudnya nyuruh orang belanja, tapi memang ada beberapa hal penting yang menurut saya harus dibawa saat jalan-jalan. Beberapa barang penting yang sepertinya akan helpful kalau dibawa adalah :
source : x |
Fitri : yang ditawarin sama Asia Tenggara itu kuil-kuil sama pantai, Dhil. Gue anaknya cuma mau nyobain MRT doang kok muter-muter kota. Commuting.Itinerary, (menurut saya, setelah coba buat sendiri) is personal. Kalo kata blog ini :
Dhila : Wah, berarti gue salah orang
you're going to spend your money and your time, so go travel for your own sake. Don't go to Paris just because everyone says, 'you haven't been to Europe if you've never posed in front of Eiffel Tower.' In that case, you'll only end up seeing 320 meters tall iron.Saya bukannya nggak punya minat pergi ke pantai atau naik gunung. Saya juga kepingin kok, menikmati sunrise di Angkor Wat (misalnya). Saya cuma lebih tertarik untuk menjadi penduduk kota lain dalam sehari. Commuting from here to there, seeing beyond hustle-bustle of the city. Plus saya suka sekali naik transportasi umum, listening properly or watching cautiously to know which station I should get off. Tapping a card and getting out of the gate. There's little achievement in that, at least menurut saya begitu.
Weird? I define it as preference.
Nah, karena masalah preference inilah kayanya saya akan susah punya temen jalan. Contoh ekstrimnya, waktu saya bilang sama temen saya kalau saya nggak terlalu pengen ke Phuket kalo ke Thailand, temen saya dengan (lumayan) heboh bilang, "kok gitu sih? Orang ke Thailand justru tuh mau ke pantai kali," (kemudian saya merasa dimusuhi. (aku cuma mau naik Chao Praya Express Boat sama Bangkok Sky Trainnya kak))
Sekarang kenyataannya saya akan pergi sama Dhila yang memutuskan untuk melihat keindahan alam meskipun perginya ke Singapura. Di sinilah pentingnya menyusun itinerary bersama-sama. Untungnya saya dan Dhila lumayan well-planned dan mau repot browsing sana-sini untuk bikin itinerary lengkap
Liburan Singapura kami harus efektif dan efisien karena kami cuma punya 2 setengah hari untuk jalan-jalan. Untungnya satu-satunya yang harus dibahas adalah Dhila yang mau liat pinguin di Jurong Bird Park dan saya yang mau ke Red Dot Design Museum (library dan bookstore trip punya saya sepertinya nggak efektif waktu dan mendingan dilakukan kalau lagi solo trip biar nggak ngerepotin orang). Si Jurong Bird Park ini tiket masuknya SGD25 dan kalo kata temen saya "ngapain sih lo liat pinguin aja jauh-jauh ke Singapur!" (kalo kata ayah, "kak, bilang sama Dhila, liat pinguinnya di google aja,"). Dan setelah beberapa minggu bertahan dengan Jurong, saya dan Dhila akhirnya beli voucher Singapore Flyer dll yang lagi diskon gede banget, nggak jadi deh ke Jurong-nya.
atau liat pinguin yang ini aja :3 (source) |
Itinerary yang kami buat ini memang lengkap sampai kemana naik apa dan berapa jam perjalanannya (thanks to google maps dan gothere.sg), tapi sama sekali bukan jadwal acara macam karya wisata anak sekolahan yang nggak bisa diubah-ubah. I think it actually depends on ourselves. Kebetulan aja saya anaknya nggak bisa banget berangkat kalo nggak tau gimana cara pulang dari tempat yang mau saya tuju. Itinerary works that way for me. Paling nggak, saya bisa refer ke itinerary saya saat saya beneran ada di tempat.
Besides, making itinerary is fun! Asal, kalo anaknya mager kayak saya, jangan sampe bikin itinerary nya setahun sebelum pergi. Luntur duluan keinginan travelingnya.
Sooo... see you on #4!!
source : x |
Suatu hari sepulang kantor, saya chatting via line sama Dhila sambil browsing tiket. Kebetulan saat itu si tiket promo yang 600 ribu mendadak muncul lagi. Masalahnya, ayah saya belum pulang dan ayahnya Dhila sudah tidur jadi kami nggak punya kartu kredit untuk beli tiket. FYI, kami beli tiket via web ini karena web nya punya fitur menggabungkan flight pulang dan pergi dari maskapai yang berbeda. Harganya pun bisa di compare, jadi nggak perlu buka website berbagai airline untuk berburu tiket paling murah.
Nah sementara kami nunggu yang punya kartu kredit, saya dan Dhila lanjut chatting ngobrol ini itu berasa udah beli tiket. Setelah kesana kemari, saya cek lagi di website, eh ternyata tiketnya ilang lagi.
Mau ketawa rasanya karena kami malah ngobrol soal rencana belanja passport holder dan sendal jalan-jalan (SEE? IMPULSIVE PURCHASE ALWAYS LEADS YOU TO ANOTHER!) bukannya beli tiket dari jam 8. Jadilah kata Dhila, "gapapa Fit, yang 800 ribu itu aja deh,"
Sejujurnya, saya sih nggak rela karena sejak awal, saya pengennya jalan-jalan hemat. Kebayang-bayang aja harus gembel kayak apa kalo biaya penginapan dan tiket udah 1.4 sendiri sementara kami bertekad supaya budgetnya nggak sampai 3 juta (anaknya ambisius) belum ngitung airport tax dan biaya makan (nyari hostelnya pun yang free breakfast dan udah niat bawa tempat minum dari jakarta (dhila malah niat bawa pop mie)).
Lalu setelah deal sama Dhila kalo kita akan beli tiket yang 800 ribu, pulanglah ayah ke rumah dan saya pun siap-siap beli tiket.
Tapi, karena penasaran sama tiket 600 ribu yang mendadak hilang, sebelum beli, saya cek langsung ke website maskapainya. Di sana rupanya ada pengumuman kalo website nya lagi maintenance sampe jam 4 besok pagi. Sekarang saya ragu-ragu, mengingat persaingan beli tiket hampir sama ganasnya sama ibu-ibu gerbong wanita yang mau turun di tebet. Nggak beli yang 800 ribu sekarang besok pagi bisa ilang, tapi kalo beli sekarang, siapa tau setelah maintenance website nya beres tiket 600 ribu nya muncul lagi.
Akhirnya karena memang trip ambisius ini budgetnya juga ambisius, saya pun nggak jadi beli tiket malam itu. Yah, kalo terus tiket 600 ribu dan 800 ribu nya ilang tinggal usul ke Dhila kita nginep di masjid aja sekalian biar gratis (kemudian diomelin).
Besok paginya, hal pertama yang saya lakukan adalah cek website untuk beli tiket. Dan taraaaaaaaaaa si tiket 600 ribu nya muncul lagi dong! Alhamdulillah, maintenance nya bukan bohongan. Langsunglah saya beli tiketnya. Tanggalnya pun cocok banget, pas di minggu terakhir Mei yang libur nasionalnya mengencourage pegawai kantoran untuk ambil cuti. Setelah beli tiket, saya langsung chat Dhila :
"Udah beli tiketnya! See you in Singapore!"Sekarang saya ngerti kenapa di salah satu blog traveling yang saya baca, step pertama yang disebut adalah beli tiket. Salah satunya pasti karena setelah beli tiket, the only way is to go, nggak pake mundur-mundur lagi (kan sayaaang uangnya bisa dipake beli sepatu).
See you in #3!
I just want to make thissss, anyway... the series are now a click away |
source : here |
notes :
hey, I'll work on my HASHTAG NAIKCOMLINE but before that, here's new episodes I've been working on :)
notes (2) :Setelah sejak lahir rekor jalan-jalan terjauh cuma sampai Jogja, akhirnya anak mager ini (tahun lalu) bikin rencana jalan-jalan juga. Niatnya adalah reward setelah bertahan setahun di kantor, hadiah ulang tahun ke 2X dan (ceritanya) latihan keluar dari comfort zone setelah meraas kemagerannya sudah keterlaluan.
This is pure rambling
Jadilah bulan Februari kemarin saya bikin paspor dan beli backpack. Kalo itinerary sih, karena kebetulan ini anaknya semangat kalo masalah planning-planning (kalo pelaksanaan beda urusan) udah dibuat lengkap dari bulan Januari. Tapi rupanya semua itu nggak cukup untuk meyakinkan diri bahwa saya memang harus (mulai ber) pergi (an). Otak saya yang terbiasa mager mulai bertanya-tanya :
Do you really need to go? Gimana kalo uangnya habis di tengah jalan? Gimana kalo ditipu sama penduduk lokal? Gimana kalo ketinggalan pesawat? Gimana kalo nyasar? Dan lain-lain.Pada akhirnya, jawaban dari 'do you really need to go?' itu sebenernya relatif untuk semua orang. Buat saya, saat itu, alasan paling mudah adalah karena saya sudah ngantri sampai jam 1 siang (dengan badan demam dan flu plus AC imigrasi yang kelewatan dinginnya) demi bikin paspor. Plus ranselnya udah kebeli. Nah kalo nggak pergi itu ransel mau dipake ngapain? Sekolah?
Saya pun memutuskan bahwa apapun yang terjadi, saya HARUS pergi. Tapi karena rencana pergi saya itu baru sekitar akhir tahun, saya masih harus menunggu kira-kira setengah tahun lagi. Dan dalam setengah tahun saya nggak tau excuses macam apa yang bisa saya bikin (unconsciously) demi membatalkan rencana bepergian ini. Jadilah saya pikir kayanya lebih enak kalau rencana trip akhir tahun itu dibagi jadi beberapa bagian yang dimulai dengan pergi ke Singapura.
Pertama-tama, sebelum pergi, saya harus punya teman pergi dulu. Setelah mikir ini itu (dan temen saya yang awalnya fix pergi ternyata gabisa cuti karena masih probation) akhirnya saya telepon Dhila, salah satu teman main saya dari jaman kuliah.
fitri dan dhila (sengaja foto wisuda :3) |
Fitri : masa sampe paspor lo expired belom ada capnya? Ayolah Dhil, kita gembel aja. 2,5 juta 4 hari 3 malem,Percobaan pertama, Dhila masih belum mutusin untuk pergi, sementara tiket promo yang sudah saya incar mendadak hilang dari internet. Jadilah saya memutuskan untuk, apapun yang terjadi yaudah gue pergi aja sendiri.
Dhila : Singapur udah jadi kota termahal Fit sekarang. Ngalahin Tokyo,
Fitri : jadi lo mau nunggu sampe Singapur semahal apa lagi?
Perlu diketahui, saya adalah anak mager banyak wacana (AND I'M NOT PROUD AT ALL). Kalo masih rencana, saya akan sangat bersemangat, tapi begitu mendekat ke hari-H, otak saya otomatis membuat sejumlah alasan yang bisa saya pakai biar nggak usah pergi. Jadinya, begitu awal bulan April Dhila telepon dan mendadak semangat untuk pergi, semangat saya justru udah lumayan luntur (walaupun belum sampai tahap pengen ngejual ransel). Terutama karena tiket promonya udah abis. Mager-mager pengen gitulah kira-kira. Kali ini giliran saya yang ngegantungin.
Lalu suatu hari, pergilah saya ke toko buku dan beli sebuah buku traveling. Bisa dibilang, setelah baca buku ini, terutama kisah salah seorang penulisnya tentang Singapura, saya jadi semangat lagi. Mikirnya, kalo sekarang aja gue nggak pergi, nggak ada yang bisa jamin akhir tahun nanti gue bakal jadi pergi. Dan kalo nggak jadi pergi, itu paspor sama tas nya jadi mubazir dong. Yaudah, mulailah saya dan Dhila cari-cari tiket lagi.
Personally, for me, this is a verrrry new experience. Untuk anak yang ke Kebun Raya Bogor buat main aja males, going singapore is not a small deal. I don't know if there are people who will relate to me in this part. But for me, one thing that I hate the most about going is leaving. There are things I leave behind even when I only travel a small distance. There's this weird attachment I can't explain and I think I need to break that somehow.
Aside from the passport and the backpack, of course this is something to look forward to in the midst of hectic and overworked days. And as Ibn Battuta said,
source : here |
See you in #2!
"kok sampe sekarang gue belom pernah liat ya, ada orang cerita soal pengalaman naik kereta?"That was a little conversation between me and my friend when we ride the train home. Iyanih, sejak 8 bulanan yang lalu, saya jadi commuter yang naik commuter line. Desek-desekan tiap pagi dan turun di stasiun (yang penumpangnya turunnya paling ga santai) Tebet. Naik kereta on regular basis rupanya nano-nano rasanya, seneng iya, sebel iya. But basicly, I love taking public transportation (and this is not a mere sweet talking), and it amazes me, how a person could kill (metaphorically) not only to get into the train but also to get out of it.
"belom nemu aja kali lo nya,"
Jadilah saya mikir, kayanya bikin episode cerita-cerita dari naik kereta seru juga.
And here, we begun the 'episode perkenalan' of a series called HASHTAG NAIKCOMLINE. Intinya sih, yaaa... yang nggak enak-nggak enak di kereta, diketawain aja. It's hard already to cope with the work-life, why make it harder by being cranky in the train, right?
see you on the first episode!
And I can't decide whether it was for the better because I started to see things not in black and white, but from what people see, this particular change may not be a good one.
Saya senyum miris sendiri, begini nih kalo kangennya ngomong doang. Cuma buat bahan chatting whatsapp/Line/facebook doang. Kangennya ngomong doang tapi nggak usaha. Siapa yang tahu, saat saya lagi mikirin seseorang dan mikir, "aduh kangen banget nih. Tapi gue ini-itu-ini-itu," sebenarnya orang yang lagi saya pikirin itu lagi butuh temen ngobrol. No, not even temen ngobrol, mungkin cuma butuh presence orang lain yang bisa bikin dia nggak ngerasa sendirian.
Apa susahnya, ketik sms; "apa kabar? kalo aku ke deket-deket sana, kita ketemu, yaaa :)" lalu saat weekend, bukannya mikir udah capek kerja lima hari penuh dan mau istirahat aja; bangun dan pergilah, janjian. Mungkin bukan selamanya buat orang yang saya samperin, tapi mungkin juga buat saya sendiri.
To grasp the happiness I might not found in daily basis when I'm too busy looking at the whole picture. Macam Alyo ngerekam Kalin buat jadi cadangan energi. Friends work that way too.
Lain kali, kangennya jangan cuma ngomong doang ya, Fit.
Noted now.
At the end, it's happiness we find in daily basis, in dealing with our routine, that matters most
Unlike most heroine in shoujo manga (and the stereotyping on girl in high school that come afterwards), I can say that my favorite subject is math.
I didnt like it at first when I was on elementary school. But one of my friend said that doing math is like solving a riddle. And I remember my mother started to teach math in a kind of cram school only for math subject so she can also taught me at home. Then, I get into a sempoa course for about 2 years. I think I'm getting along well with math ever since. I don't become a master in math or anything, it's just that I got used to it.
I remember doing my exercise book ahead of time on middle school and getting the highest score for my first test on high school (because I've learn the subject on middle school). I like the subject to the point that I choose it as my second major on university entrance test.
Until now, I believe that the only way to conquer the subject is to practice. By practicing, we will come to a point of understanding. It is important because by understanding one thoery, it is easier to understand another since it's all linked. And what I love about math is that it is something that has answers. No matter what kind of problem it is, there should be at least a way to solve it.
Another thing about math is that after a while, it will come to you naturally. What to read in a question, what is that all about, what kind of problem it was, what to do first, and what step that comes after. Doing math and finding the answer is a bit like advanced a level in Candy Crush. It's exciting and satisfying and makes me want to do more.
So, a couple of days ago, I was thinking about that and comparing it to my current job. I was watching my principal works as the thought hits me. Doing my job is a bit like doing math. Practicing has a big role in order to be used to it (and I dont say to mastered it) and after a while (though it may take longer that what it takes on doing math) it will come naturally as I become used to it.
There's so many things to think of like, how does it look like, how to get people to walk there, how to build that, how to make it works and so on. But so does math, I remember imagining a way out before actually writing my solution on paper, and it was naturally happen. So I think, after a while, it will come just as natural.
I just need to go the extra mile.
On Updating or Not Updating My Facebook Status (or any other social media)
in the mood January 31, 20141. Facebook status is public by default
By that I mean that we don't choose what to see or what not to show (except you are okay to trouble yourself to change your privacy setting or mute some annoying people as the feature is currently available). But I think I am also 'kepo' by default so I don't really use the feature and enjoying people's life story via facebook. That makes me aware that I don't really want people to know about my life in detail and this is the very basic reason of why I don't update my facebook status at all.
2. Facebook status is real time and in my opinion, it's supposed to be short
Eventhough facebook status is supposed to be an answer to the question 'what's on your mind?', and in that manner I can be as elaborate as possible, most people only tell how he was at that time (like, how annoying a person who snore beside me on my flight to HK! and not what kind of person the snoring person is, why do I have to go to HK, or with whom I went to HK) and it bring us to the third reason that
3. I can't elaborate things to everyone via facebook status
And the facebook status can not reveal my thinking process and my knowledge as a whole and some people, while just being naturally curious or honestly caring, needs explanation.
4. Because people, and that include myself, tends to make conclusion
For me, the point is, how do I arrive to that conclusion. Do I read and concluding real time and keep it for myself? Do I read and think and observe then concluding? Or do I read, concluding real time, listening to someone having the same conclusion, and end up labeling the person whose status I read?
5. And from the fourth point, I came to a conclusion (see I've been through four parts here, just saying) that facebook status is a place where misunderstanding is inevitable.
I know one case when a renown ustadz make a series of tweet about how useless is having girl/boyfriend and my friend, who happens to follow the account and currently having boyfriend said that the ustadz is exaggerating and she doesn't do things to that extent with her boyfriend. In my point of view, the whole thing about having girl/boyfriend is not as simple as whether it's allowed or not, it is a matter of what do you believe and what do you understand from your belief. The ustadz may have elaborate it on the former tweet on why it's not supposed to be done based on his belief but my friend might be too lazy to stalk the timeline. Maybe the ustadz was using some confusing words that it is a bother even just to read or maybe my friend was involved in some conversation where people said that they don't agree to the tweets. Anything can happen when we can't explain ourselves, and mostly it's misunderstanding.
6. It's true that I don't have to explain myself, but when I need to be heard, when I am about to transfer my knowledge, then people need to know it as a whole, not as parts.
And it's only fair that way. To myself, and to people who read.
7. At the end, I think the question has change from whether to update or not to update my facebook status with such a sensitive statement, to whether it is the right platform to do such things.
After reviewing the six number above, I answer myself that it might not be the rightest platform for me (note that all of my reason is completely subjective, not generally applicable, but definitely one of a million way of answering the question on update or not updating your facebook status) because I have a need to make people understand about me and my mind. That way, it is easier to be heard.
Kata comic nya, padahal sebenernya si orang yang tinggal di desa itu biasa biasa aja loh, cuman orang yang datengnya pasti nangis kejer. Saya nggak suka, dan sangat menghindari acara-acara yang kayak gitu. More or less, setuju sama si comic itu. For me, it's as if there is no other way to live other than in a city. Orang yang di desa itu might be living just fine, lalu dateng orang entah dari mana yang menganggap they living a super hard life just because they both come from a different standard.
Buat sebagian orang, bahagia itu mungkin dengan backpacking ke tempat baru dan belajar hal-hal baru. Mungkin sesederhana pasang radio dan tiba-tiba lagu favorit kita diputar. Ada banyak hal untuk mendefinisikan bahagia, tapi mungkin nggak semua orang mau melihat standar bahagianya orang lain. Itu dia menurut saya yang bikin anak-anak kotanya nangis kejer dan ngerasa kasihan berlebihan sama orang yang tinggal di desa dan akhirnya orang yang nonton acara itu ikutan merasa kalau hidupnya si orang desa itu memang jauh di bawah standar.
But whose standard are we talking about right now?
What if their happiness is by sharing some food with other, by knowing that even though they have to work so hard only for dinner and breakfast, they can keep their family close. What if their happiness was not define by pretty shoes and smooth skin, what if they are content with their life at that time?
I've met some people that lead a harsher life than mine and that encounter got me thinking. How people could have sooo much problems in their life and still looks happy most of the time. Maybe that's because their happiness doesn't defined by their level of problems.
Dan mungkin mereka lebih banyak bersyukur daripada mencari-cari apa yang nggak ada. After all, the bad things in life are so few (if only I would want to see beyond things).